MATERI 1
SEKITAR NKRI
“ STABILITAS EKONOMI NASIONAL”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan
peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan
harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik.
Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997,
pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui
pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui
proses penstrukturan hutang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan Pada masa awal
kemerdekaan,keaadaan ekonomi bangsa Indonesia sangat buruk,dikarenakan
oleh: Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di
masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa
saja, diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah
ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di
Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar
untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling
menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada
zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak
menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI,
yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda,
dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan
sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai
sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti
uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6
Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu
Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang
Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana
Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti
pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni
selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak
akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga
melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang
Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk
melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan,
pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November
1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan
pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank
negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu
keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan
blokade ini adalah:
1. Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke
Indonesia;
2. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan
milik asing lainnya;
3. Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh orang bukan Indonesia.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Tanah pertanian rusak
1. Tenaga kerja dijadikan romusha
2. Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi,
antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.
Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000
ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus
blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu
mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang
ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka
waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri
Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang
dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
1. Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
2. Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
3. Penanaman kembali tanah kosong
4. Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke
Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Demokrasi Terpimpin,
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan
baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah
untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong
semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal
setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada
tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19
Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp.
5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp.
2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan
kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah
mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman
sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang
dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro
Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk
mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional
(pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan
diberikan bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang
menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun
(1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima
bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat
tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar.
Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non
pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati
cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan
secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit
keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar
rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7
miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan
bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari
golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi
sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume
impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951
pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian
kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini
menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya
ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal15 Desember 1951
berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri
perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam
rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha
pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan
sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan
kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa
Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan
dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat
untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha
non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan
persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk
merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan
pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada
tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek,
yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh
diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga
Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956
Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda
secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan
ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden
Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan
pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda
tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program
yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi
yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek,
tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda
diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan
antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958.
Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah
Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar
rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir
tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan
negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan
daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah
untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja
rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik
karena:
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/
Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya
ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat
mencapai konfrontasi bersenjata.
Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto,
ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari
$1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat,
inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan
pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran
pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada
aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal
dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan
pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh
rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui
Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi
beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal
sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak,
mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank
sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral"
menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas
peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara,
subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor
seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997
dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon
pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku
bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai
tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997,
Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan
tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan
ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai
merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang
melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum
stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya
Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman
dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih
sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program
tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa
dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali
lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia
adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat diantara 20
negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke
tahun oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun PDB 1980 60,143.191 1985 112,969.792 1990 233,013.290 1995
502,249.558 2000 1,389,769.700 2005 2,678,664.096 2010 6,422,918.230
Kajian Pengeluaran Publik
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan
berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber
daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.
Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati,
dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara
pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui
"perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari
sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke
pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada
tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan
subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam
stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun
terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan
mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil
keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran
bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5
miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang
didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan
penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada
tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan
pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal'
yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika
terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi,
perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari
minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan
yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai
hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan
tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang
luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan
pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam
beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada
anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun
2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah
tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001,
bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di
Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang
mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi
daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal
yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik
untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola
dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di
bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia
yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan
masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan
perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan
infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik
yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat
mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di
Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2
persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi
dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada
tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun
2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0
persen dari PDB Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih
belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada
tingkat 3.4 persen dari PDB Satu bidang lain yang menjadi perhatian
saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa
tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 menunjukkan suatu
penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
2.2 Era Bank-bank Bangkrut
INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean
panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka
benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak
kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah,
menjadi awal
dari semua prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah
awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong
karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan
itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang
menjadi kronis.
Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang
membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan
dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong
melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI.
Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik
menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih
tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi
negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan,
bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi
sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk
memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan.
Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok
sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar
menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan
internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia,
telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan.
Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah
pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham
bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN).
Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan
nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di
berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan
perbankan.
Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan
pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok
itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas
berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan
C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.
Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan
obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal
perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari
memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp
300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal
mudah untuk dipenuhi.
**
SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang
dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain
tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas
perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil
contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu
pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu
tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah
menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas
bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan
kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut
bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat
pada dunia perbankan.
Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya
kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung
diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh.
Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas,
sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan
yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan
nasional.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah
kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan
rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan
yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
***
DI tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan
perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu,
tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti
sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing
atau campuran, atau bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati
menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak
seperti hanya dalam bilangan jari tangan.
Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada
yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun
dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan
melihat endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus
dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan
perbankan.
Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu
merupakan bagian dari reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga
masih merupakan langkah sumir. Maka itu, mengamati industri perbankan
sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.
Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi,
tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan.
Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini, peran
aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga
perbankan satu negara.
Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi
portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya.
Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct
investment (aliran investasi asing langsung).
Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi.
Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal
keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan Thailand, adalah
negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali
arus modal masuk itu.
Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah
telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk
berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu,
ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas.
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular ,RUPIAH pun tak mau
ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian.
Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat
seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika kurs rupiah hampir
menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?Begitu Soeharto
menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei
1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan
gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per
dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi
sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi
penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya
tidak habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi
atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang mengalami
depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas
mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.Kondisi
ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang
tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi
perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa.
mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa
Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik
terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui
tingkat 400 poin. Tingkat suku bunga yang mulai
menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada
valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami
rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus
bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.MENGIKUTI perjalanan
kurs rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung
dengan lembah dan ngarai yang terjal. "Batas rupiah adalah langit,"
ujar pengamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus
melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni lalu.Pasar memang tidak bisa
kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin
diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.
Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000
per dollar AS. Tidak terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan
saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi
ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk
mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan
rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16 bank swasta bulan
November.Manuver-manuver politik semakin memperburuk kepercayaan pasar
atas perekonomian Indonesia. Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie
pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan
tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah yang juga tarik
ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana Moneter
Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.
Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat
melambung melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus
terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari
1998. Beruntung, penandatangananletter of intent pemerintah dengan IMF
tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada
membaiknya perekonomian.Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di
bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp 8.000 per dollar AS
pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi
atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan
pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan
menghadapi krisis.Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali
melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin pada Februari 1998.
Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para investor
asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu
sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen
positif krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik
SEBAGAIMANA dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia
ternyata sudah melebar menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis
juga mulai masuk ke politik yang selama ini praktis menjadi "kawasan
tabu". Akibatnya, kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara
perlahan namun pasti, mulai pupus.
Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak
di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri
mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar
utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang
jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya,
tekanan terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.Pasar valas maupun bursa
saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah
diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga
mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks
harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400
poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.Sejak Juni
dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan
mulai membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah
perundingan bagi penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai
kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana
bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap
mendukung program ekonomi Indonesia.Sayangnya, langkah pemulihan ini
belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus berjatuhan.
Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga
rokok ataupun air mineral
jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun
hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.Pertanyaannya,
apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat
ini saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa
agak pulih. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang
dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai diselesaikan dari
diri sendiri.Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa
menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri.
Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah
menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.*
2.3. Pertumbuhan ekonomi
Merupakan proses naiknya produk per kapita dalam jangka panjang.
Tidak memperhatikan pemerataan pendapatan.
Tidak memperhatikan pertambahan penduduk
Belum tentu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi belum tentu disertai dengan pembangunan ekonomi
Setiap input dapat menghasilkan output yang lebih banyak
Pembangunan ekonomi
Merupakan proses perubahan yang terus menerus menuju perbaikan
termasuk usaha meningkatkan produk per kapita.
Memperhatikan pemerataan pendapatan termasuk pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya.
Memperhatikan pertambahan penduduk.
Meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pembangunan ekonomi selalu dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi.
Setiap input selain menghasilkan output yang lebih banyak juga
terjadi perubahan – perubahan kelembagaan dan pengetahuan teknik.
Dampak Positif Pembangunan Ekonomi
Melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan
berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi.
Adanya pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya lapangan
pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan
mengurangi pengangguran.
Terciptanya lapangan pekerjaan akibat adanya pembangunan ekonomi
secara langsung bisa memperbaiki tingkat pendapatan nasional.
Melalui pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya perubahan struktur
perekonomian dari struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi
industri, sehingga kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh negara akan
semakin beragam dan dinamis.
Pembangunan ekonomi menuntut peningkatan kualitas SDM sehingga dalam
hal ini, dimungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berkembang
dengan pesat. Dengan demikian, akan makin meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Dampak Negatif Pembangunan Ekonomi
Adanya pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik
mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan hidup.
Industrialisasi mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian.
hilangnya habitat alam baik hayati atau hewani
2.4.Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional Voting di Sidang Paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat menghasilkan keputusan menerima tambahan Pasal
7 Ayat 6A APBN-Perubahan 2012. Klausul tambahan ini memberikan wewenang
kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM jika harga
minyak mentah mengalami naik atau turun rata-rata 15 persen dalam
jangka waktu enam bulan terakhir. Menanggapi keputusan itu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menyiapkan beberapa langkah ekonomi.
“Pemerintah akan mengikuti harga minyak mentah dunia,” kata SBY, Sabtu
malam, 30 Maret 2012. Jika harga terus naik, akan berdampak juga dengan
harga BBM dalam negeri. Tetapi SBY berjanji akan menyalurkan bantuan
sosial secara tepat kepada masyarakat miskin.
SBY juga akan menggenjot pendapatan negara, terutama pada dua sektor
yakni pajak dan pertambangan. Selain itu pemerintah akan melakukan
penghematan energi dengan mengoptimalkan energi alternatif. “Pengalihan
dari BBM ke BBG bisa dipercepat,” tutur SBY. Ia juga akan melakukan
penghematan anggaran belanja baik kementerian ataupun setingkat
daerah.SBY dan jajarannya berusaha meningkatkan ekspor ke luar dan
investasi dalam negeri. Pemerintah akan menjaga tingkat konsumsi
masyarakat dengan memberikan bantuan langsung. SBY berharap ekonomi
nasional tetap stabil, sehingga tidak perlu menambah utang baru.
Selain di bidang ekonomi, SBY akan menjaga stabilitas keamanan dan
ketertiban sosial politik di Indonesia. SBY mengimbau semua jajarannya
termasuk kepala daerah untuk sekuat tenaga sesuai dengan APBN-P 2012.
“Kepala daerah bertanggung jawab menjaga politik dan keamanan
nasional,” tutur SBY. Menurut SBY, keamanan nasional berdampak pada
perekonomian. Ia memberi contoh TNI/Polri yang mampu menjaga ketertiban
selama kegaduhan terkait dengan isu kenaikan harga BBM.
BAB III
KESIMPULAN
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil
atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik
Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut
menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang
sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi
meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi
secara tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar